Carilah di sini

Senin, 12 Agustus 2013

dari SUKAMISKIN ke ISTANA NEGARA

Rebuplik ini bukan hadiah dari penjajah. Lama sebelum kemerdekaan diproklamasikan telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita yang kemudian menjadi para pendiri negara ini. Jalan yang mereka tempuh penuh onak duri penderitaan. Salah satunya seperti tulisan berikut ini.

dari SUKAMISKIN
ke ISTANA NEGARA
Sekelumit kisah bung Karno Menudju Indonesia Merdeka

BUNG KARNO DITANGKAP

Oleh : GATOT MANGKUPRADJA

PADA tanggal 25 - 26 Desember 1929 di Bandung telah diadakan pertemuan antara pemimpin Partai2 Politik jang diwakili oleh masing2 Anggota Pengurus Besarnja jang maksudnja membulatkan tekad untuk mendirikan suatu Badan Permufakatan. Dalam pertemuan permusjawaratan itu jang dipimipin oleh Sdr. alm. Husni Thamrin hadir antara lain Bung Karno, Sartono, Dachlan Abdullah, Bakri Suraatmadja, Otto Iskandar Dinata, Sutisna Sendjaja, R.A.A. Kusumo Utojo, Dr. Samsi, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, Ir. Anwari, Dr. Sukiman, Sjahbudin Latif dll.
Karena dalam beberapa hal belum ada kebulatan, maka permusjawaratan akan dilandjutkan di Solo pada tanggal 27 Desember 1929.
Tanggal 26 Desember 1929 pagi hari l.k. djam 5 kami, Bung Karno, zus Inggit, Maskoen, Mang Ojib dengan berkendaraan satu auto taxi Chevrolet Touiring kepunjaan sdr. Suhada (Ada) menudju kekota Solo. Waktu itu dikota sangat ramainya, mungkin karena ada patjuan kuda. Kita menudju rumah Sdr. Mr. Singgih, dan didjemput oleh sdr. Sudarjo Tjokrosisworo, seorang Wartawan Nasionalis, jang membawa kita kerumah dimana kita akan bermalam, sesudah kita bersama makan di restorant Imron.
Tanggal 27 Desember 1929 dilangsungkan permusjawaratan P.P.P.K.I. disuatu rumah (kami lupa dimana dan rumah siapa) dalam pertemuan mana hadir antara lain Sdr.2 M.Husni Thamrin, Bung Karno, Sdr. Sartono, Sdr. Ali Sastroamidjojo, Sdr. Ir. Anwari,Sdr. Mr. Singgih, Sdr. Mr. Soebroto, Sdr. Ruslan, Sdr. Sundjoto, Sdr. Gondokusumo, Sdr. Dachlan Abdullah, Sdr. Otto Subrata, Sdr. R.A.A. Kusumo Utojo, dan kami sendiri sebagai djurutulis. Dr. Sukiman, Driowongso, dan beberapa kawan2 lagi.
Kami masih ingat akan suatu perdebatan jang hebat antara dua kawan separtai Sdr. Dr. Sukiman dan Driowongso, dan kalau tidak salah, jang mendjadi soal pertentangannja itu, ialah mengenai kata "Moefakat", karena dalam permusjawaratan diperbintjangkan soal-soal jang menentukan. "Apakah sesuatu putusan mengikat atau hanja Mufakat sadja."
Selesai pertemuan maka kami (rombongan Bung Karno) kembali menudju ke Djokja, kerumah Sdr. Mr. Sujudi, dimana kita bermalam.
Pada malam hari 27/28 Desember 1929 ada Pesta di Kesultanan Paku Alam, dalam resepsi mana Bung Karno djuga turut hadir bersama zus Inggit dan Sdr. Mr. Sujudi dan isteri.
Tanggal 28 petang 29 Desember 1929 atas usaha kawan-kawan Penguru Partai Nasional Indonesia di Djokja (Mataram) diadakan Rapat Umum bertempat disalah satu ruangan muka seorang bangsawan disebelah selatan kuburan orang Eropa didjalan Gondomanan. Dalam Rapat Umum berbitjara Bung Karno, kami, Sdr. Maskoen, dan Sdr. Ki Hadjar Dewantara mengadakan pidato sambutannja.
Sebagaimana biasa, kira2 tengah malam kita bersama pulang kerumah sdr. Sujudi didjalan Tugu Kidul. Kami bersama Maskoen tidur dikamar belakang, dan Mas Ojib bersama sdr. Soehada dalam satu kamar lain.
Tiba-tiba kira2 djam 5 pagi pintu2 digedor-gedor dengan kerasnja dan setelah kami buka, maka seorang Komisaris Belanda dengan suara membentak-bentak sambil mendorong dengan pistol menjuruh kami keluar. Beberapa agen polisi menjerbu kamar dan membeslah semua barang2 dan buku2, surat kabar, phototoestel dll. Kami berdua hanya boleh keluar dari kamar dan menunggu diserambi pinggir rumah dengan tjelana pendek dan badju kaos.
Begitu djuga kami lihat Mang Ojib dan Soehada, sudah digandeng oleh 2 agen polisi.
Kemudian datang seorang Komisaris, jang memerintahkan kepada agen polisi supaja kepada kami boleh diberikan pakaian 1 stel. Kami berpakaian dihalaman pinggir, dan setelah selesai maka lalu digiring naik sebuah motorfiet zijspan. Sdr. Maskoenpun demikian. Nasib apa jang diderita oleh Bung Karno, zus Inggit dan kawan-kawan lainnja, kami tidak mengetahuinja. Kami bersama Maskun dibawa kependjara Mergangsan dan harus menanti disebuah kamar dengan pendjagaan jang kuat. Tidak berapa lama kemudian tibalah Bung Karno dan kemudian menjusul Mang Ojib dan Suhada.
Bung Karno, Maskun dan kami dimasukkan dalam satu cel besar jang menurut keterangan pendjaga telah diperuintukkan bagi bangsa asing jang digijzel.
Cel besar itu yang letaknja dibawah satu pohon beringin, dan karenanja maka agak sedjuk. Cel besar terbagi 2 bagian. 1 Ruangan tidur dimana terdapat 3 krib dengan pakai kelambu dan selimut strip2, dan 1 ruangan jang kanan kiri - atas pakai rudji besi, jaitu ruangan untuk djalan-djalan, supaja tidak begitu pegel.
Bung Karno selalu tersenjum, dan setelah kita buka pakaian, dan hanja memakai badju dalam, maka Bung Karno bertanja : "Tot, Geuning urang teh ditangkapnja, - tadi teh teu reuwas"?
Lalu kita bertiga mentjeritakan perasaan kita diwaktu digedor-gedor dan persangkaan2, mula-mula mengira ada kebakaran karena dipinggir rumah sdr. Sujudi kedengaran suara sepatu dan banjak jang berteriak-teriak: "disini". Sdr. Maskun menjangka ada maling. Dan baru setelah kita digedor pintu dan bangun dari tempat tidur melihat todongan pistol Komisaris polisi, barulah kita insjaf bahwa jang bikin rame-rame tadi itu, adalah orang2 dari polisi jang menangkap kita.
Bung Karno menanjakan dimana Mang Ojib. "Wah karunja Tot, Mang Ojib meureun moal bisa njedot ubar asmana". (Mang Ojib adalah seorang kawan, jang umurnja sudah lebih setengah abad, tapi berdjiwa radikal-revolusioner dan bersemangat muda ksatrija. Penjakitnja Asthma. Tapi walaupun demikian, ia senantiasa mengikuti Bung Karno dan kami kemana sadja kita berangkat untuk mengadakan rapat-rapat, kursus2 dan lain-lain pertemuan).
Siangnja kita mendapat makanan, rupa-rupanja dibeli dari sebuah restorant, karena kamiingat bahwa hidangan jang diberikan kepada kita serupa hidangan nasi remes Djokja jang biasa didjual di restorant-restorant.
Selainnja nasi remes, pun kita mendapat rokok tjap Bolong masing2 sebungkus, dan pisang masing2 sebuah.
Kepada cipir jang mendjaga, kita bertanja, apakah sebabnja kita ditahan ini, maka ia djawab, bahwa ia tidak tahu. Kita kepadanja menanjakan, dimana kawan kita jang dua lagi. Ia mengatakan mereka ada di cel lain. (Dimana itu cel berada kita tidak tahu).
Sorenja kira2 djam 4, kita menerima lagi makanan. Tiba-tiba kita melihat Sdr. Soehada digiring kekantor, dan tidak lama kemudian sdr. Soehada dibawa keluar. Entah kemana ia dibawa, kita tidak mengetahuinja.
Malam itu kita tidur seperti sebagaimana biasa. Hati tetap tenteram eseoknja, kira2 djam 5.30 pagi kita dibangunkan oleh cipir beserta beberapa orang agen polisi, seorang Komisaris dan seorang Pegawai Polisi berpakaian kain tjarik, pakai setengah kepala (ketu udeng), badju putih tutup. Bung Karno mengenal ia sebagai Wedana Salamun.
Wedana Salamun ini jang menghampiri kita dan dalam bahasa Belanda ia mengatakan "de heren worden nu naar Bandung getransporteerd, ga nu maar vlug aankleden," Kita menurut pada perintahnja, dan setelah pintu sel dibuka, lalu kita keluar. Kita harus ikut mereka masuk satu-tunggu dan setelah beberapa menit menunggu di ruangan itu, kita dinaikkan kedalam sebuah oto jang sudah disediakan dandengan dikawal kanan kiri oleh beberapa agen polisi jang mengendarai speda motor, kita dibawa kestation Tugu dan terus disuruh masuk kedalam wagon kelas III. Semua djendela2 dari itu wagon ditutup rapat dan dimuka pintu didjaga oleh 2 oran gagen polisi jang bersendjata.
Kami disuruh duduk berhadap-hadapan dengan Bung Karno dan disamping masing-masing duduk soerang opziener polisi Belanda. Maskun dan Mang Ojib duduk dilain ruangan. Setelah salah seorang politie-opziener Belanda memerintahkan, bahwa kita tidak boleh berbitjara bahasa lain, ketjuali bahasa Belanda dan sama sekali tidak boleh berbitjara tentang partai. (De heeren mogen niet in een andere taal spreken, behalve Hollands en er wordt niet over de P.N.I. gesproken).
Karena djendela kereta terus ditutup, maka kita sama sekali tidak dapat mengetahui dimana kita berada, ketjuali ketika kereta api masuk terowongan dan waktu berhenti di Kroja. Lama setelah kereta berangkat lagi dari Kroja kita dapat mengetahui bahwa hudjan lebat telah turun dan hawa udara didalam wagon terasa sedjuk. Dalam pikiran kami sudah tentu kita berada didaerah Periangan, kemudian setelah lampu dalam kereta dinjalakan, maka kita dapat mengira-ngirakan jaitu waktu sudah lewat magrib, hudjan lebat masih terus turun dan dalam hudjan lebat itu kereta api berhendi disebuah station. Dengan dikawal oleh beberapa agen polisi jang mendjaga kereta api tadi, kita diperintahkan turun dan ketika kita ada diperon, maka terbatja stasion Tjitjalengka.
Kami bersama Bung Karno terus dinaikkan kedalam sebuah auto touring dan kanan kiri berdiri seorang agen polisi diatas triplang, sedangkan didepan oto dan dikenan kiri pengawal polisi berkendaraan spedamotor. Achirnja kita sampai didepan pintu bui Bantjeuj jang dibuka oleh seorang sersan Belanda, kedua oto jang membawa kami berempat masuk kehalaman bui dan setelah kita turun dari oto maka kita disuruh masuk kedalam sebuah kamar tunggu dimana nampak beberapa ambtenaar polisi dan sipil antara lain Patih R. Edjeh Kartahadimadja dan Residen J.H.B. Kunemane begitu djuga Komisaris polisi H.H. Albreghts, Spier, Verspoor, Tjamat Rachmat, directeur pendjara Zondag dan administratuer pendjara Bantjeuj Sterk. Tidak lama kemudian kita dibawa kesatu ruangan (blok) dimana terdapat cel2 ketjil dan masing2 dimasukkan dalam itu cel. Tidak lama kemudian lampu2 dalam cel dinjalakan dan untuk kita diawakan tikar, bantal tikar selimut strip dan tong untuk buang air dan emuk seng jang berisi air dingin untuk minum dan tjutji.
Sesudah kami dan Bung Karno ada dalam masing2 cel, residen Kuneman menghampiri cel Bung Karno dan terus menanjakan apakah sudah makan atau belum.
Tidak lama sesudah Residen Kuneman cs. meninggalkan halaman blok, maka untuk kita dibawakan masing2 satu piring nasi remas. Kami kira nasi remas dari warung nasi Madrawi didepan mesdjid Bandung.
Pendjagaan dilakukan oleh kira2 satu regu tentara KNIL, dibawah pimpinan seorang sersan.
Djadi, kami sekalian mulai merasai bui Bantjeuj pada tanggal 30/31 Desember 1929.
Malam itu kami terus tidur njenjak karena tjape dalam perdjalanan kereta api Djokja - Tjitjalengka.
Pagi2 kira2 pukul 6, sesudah kami bangun dan tjutji muka dari air jang ada pada emuk seng itu, dari sebelah timur kedengaran ada jang menjanjikan Indonesia Raya. Suaranja njaring, ketjil dan sedikit pelo, saja jakin bahwa jang menjanjikan Indonesia Raya itu adalah saudara Inu Perbatasari.
Kira2 pukul 8 pagi menerima ransum ompreng nasi merah. Pada pembawa ompreng tersebut kami menanjakan apakah ada lagi jang ditangkap. Dia mendjawab benar djuga katanja - kemarin banjak pemuda2 dari P.N.I jang ditangkap dan terus dimasukkan kebui.
Sesudah kurang lebih 4-5 hari dalam tahanan, maka pada suatu hari kami dipindahkan kelain cel, bagitu djuga Bung Karno dan Maskun. Kami masuk cel 7, Bung Karno cel 5, dan Maskun cel 9, sedangkan Mang Ojib diperintah untuk ambil buntelan pakaiannja dan topi tjaio ........ disuruh pulang tidak terus ditahan.
Kira2 3 hari kemudian, Supriadinata digiring kedalamblok cel lagi, ia masuk cel No. 11 jang paling udjung dekat kamar mandi.
Pada malam harinja saudara Supriadinata atas pertanjaan kita menerangkan bahwa dia ditangkap kembali dari kursus P.N.I. di Tjiandjur. Menerangkan djuga bahwa saudara Murwoto, Inu, Suka, Subagio dan Mr. Iskaq ada di blok timur.
Sesudah kami sekalian kira2 seminggu dalam tahanan bui Bantjeuj, baru diadakan pemeriksaan oleh pihak kedjaksaan, kami sendiri diperiksa oleh djaksa Hendarin, bung Karno oleh hoofddjaksa Sumadisurja sebagai vooronderzoek jang selandjutnja diteruskan kepada Parket Djendral di Djakarta, diantaranja Mr. Roskot jang sangat menekan dalam tjara pemeriksaannja.
Sesudah ada waktu dalam tahanan bui Bantjeuj, meskipun pendjagaankuat, tapi berita2 dari luar bisa sadja menembus kedalam diantaranja keganasan2 tjara pemeriksaan terhadap anggota2 P.N.I. jang ada diketjamatan-ketjamatan dan kampung, sampai tidak aneh lagi pemeriksaan jang ditambah dengan pukulan dan siksaan badan. Saudara Noersa'i dipukul kepalanja sampai achirnja mendjadi gila. Saudara Kasmo dipukul kakinja sampai tidak bisa djalan karena harus mengakui bahwa imperialisme itu adalah tjamat, wedana dan polisi.
Berita jang kita terima dan sangat menjedihkan, sesudah kira2 3 minggu menerima kabar bahwa anaknja Mr. Iskaq jang perempuan telah meninggal dunia karena penjakit thyphus.
Disini kita bisa bajangkan bagaimana sedihnja seorang bapa jang ada dalam tahanan dan menerima berita anaknja meninggal dunia.
Pemeriksaan berdjalan terus, dan sesudah pemeriksaan didjalankan oleh pihak Parket mulai dibolehkan menerima makanan dari rumah atau famili.
Sesudahnja lebih dari 1 bulan dalam tahanan, hanja anggota2 P.N.I. jang dikeluarkan, diantaranja Mr. Iskaq sendiri tapi sesudahnja ada diluar tidak boleh ada di Bandung, pindah ke Makssar.
Sesudah pemeriksaan berdjalan lama dan hampir selesai suatu kegembiraan dengan datangnnja saudara Mr. Sartono dan Mr. Sujudi kedalam bui menerangkan bahwa ia berdua akan mendjadi pembela, dengan dibantu djuga oleh Mr. Sastromuljono dan Rechtskundige R. Idih Prawiradiputra.
Pada bulan2 pertama sebelum ada pemeriksaan terhadap kita jang didjalankan oleh opsir djustisi (Parket), sama sekali tidak diperbolehkan untuk berbitjara satu sama lain. Dan untuk mendjaga pelanggaran, maka dihadapan pintu diadakan pendjagaan oleh sipir Belanda.
Apabila kita akan mengambil hawa luar (luchten) dikeluarkan dari cel, harus bergiliran tidak boleh bersama-sama. Maksudnja supaja tidak bisa berbitjara antara kita sama lain jang ditahan. Begitu djuga diwaktu luchten tidak diperbolehkan didepan pintu cel kita, tetapi hanja diperbolehkan dideplan ruangan cel sebelah timur sadja. Pendek kata, pendjagaan terhadap kami ber-empat, sangat keras. Seperti pemeriksaan pakaian diwaktu ganti dengan gantinja jang dari luar, begitu djuga kalau dapat makanan kiriman dari luar dengan sangat teliti diperiksa lebih dahulu.
Keadaan jang sangat keras itu kira2 berdjalan sampai 2 bulan, dan setelah pemeriksaan didjalankan oleh Parket Pokrol Djenderal, maka kelonggaran sedikit demi sedikit mangkin ada.
Mula-mula dibolehkan membatja buku2 dari Bibliotheek Loge St. Jan, tetapi dengan ketentuan tidak diperbolehkan membatja buku2 politik atau buku2 jang berdasarkan Marxisme dsb-nja. Jang diperbolehkan hanja buku2 tjerita roman atau buku2 pengetahuan lainnja. Demikian djuga surat2 kabar tidak diperbolehkan sama sekali.
Jang sering diberi tugs untuk mendjaga kami, ialah seorang Belanda totok bernama Bos. Lama kelamaan ia sering mengobrol djuga dengan  Bung Karno jang akhirnja mungkin ia dapat sedikit mengetahui akan hal kami. Karena, setelah ia sering mendjaga kami, maka ia mengusahakan surat2 kabar jang hampir setiap hari diberikannja kepada kami, seperti A.I.D de Preangerbode. Sipir Bos achirnja menerangkan kepada kami, bahwa isterinja orang Periangan, malahan anaknja perempuan sekolahnja di Taman Siswa Kebonkelapa, Bandung.
Selain sipir Bos jang suka memberikan surat2 kabar, djuga Pak Sariko pegawai rumah pendjara Bantjeuj, seorang pensiunan sersan sering memberikan surat kabar bahasa Sunda "Sipatahunan". Surat kabara lainnja jang sering terima, jalah "Sin Po" jang sering kami dapat dari seorang kawan Tionghoa jang pada itu waktu sedang digijzel dicel sebelah Timur. Djadi pada waktu kami mendapat tempo untuk djalan2 dicel sebelah Timur, pada waktu itulah kami dapat menerima surat kabar "Sin Po" dari saudara Boen Kim Sioe. Pada waktu kami kekakamar mandi, maka surat kabat sudah disimpannja didalam kamar mandijang kemudian kami simpan dalam badju.
Dengan dapat membatja surat2 kabar jang hampir setiap hari kami terima itu, maka kami tahulah bahwa proses P.N.I. pada itu waktu sangat menggemparkan jang bukan sadja di Indonesia, tetapi djuga di negeri Belanda sendiri sehingga terutama mendjadi buah fikirannja seorang Sosial Demokrat J.E. Stokvis dan Dantz jang kebetulan mendjadi anggota Tweedekamer.
Pada waktu malam, cel2 tempat kami tidak didjaga lagi, tetapi tjukup dengan pintu blok sadja dikuntji. Pada waktu malam itulah kesempatan bagi kita untuk bergiliran membatja surat2 kabar. Dengan pertolongan selembar benang, surat kabar itu diikat dan kemudian ditarik dari cel lain. Begitulah seterusnja sehingga kami berempat dapat bergiliran membatja surat kabar.
Residen Kuneman waktu itu mulai sering menengok Bung Karno dan sering menanjakan kebutuhan2 kami. Maka diantaranja perbaikan setelah sering ditanjakan kekurangan2, antaranja tikar tempat tidur jang tadinja hanja sehelai ditambah djadi empat lima helai, kemudian bantal jang tadinja hanja bantal dari sabitan daon pandan, diganti dengan bantal kapok sebesar guling untuk baji. Djuga selimut strip2 jang tipis diganti dengan selimut wol berstrip merah tebal.
Meskipun telah mendapat perobahan didalam pemeliharaan, tetapi untuk dapat berbitjara satu sama lain tetap belum diperbolehkan.
Pandjaga sering mendjaga bergiliran, jalah sipir Belanda totok Bos, mantri Sariko, mantri Sukiman dan hulp mantri Darmin.
Selama vooronderzoek masih berdjalan, maka kita diperbolehkan menerima tamu dari luar hanja keluarga sadja, jalah dua kali dalam seminggu, hari Selasa dan Djum'at antara djam 2 sampai djam 4 siang. Penerimaan tamu hanja diperbolehkan dikamar bezoek sadja. Akan tetapi setelah pemeriksaan selesai, maka kundjungan keluarga diperbolehkan dihalaman blok dan boleh dari pagi sampai siang hari.
Setelah keadaan penahanan mendjadi ringan, maka kita diperbolehkan berolah raga seperti adu gulat, bertjotjok tanam dsb.nja. Dan seterusnja setelah itu diperbolehkan pula membatja buku2 politik dari rumah sendiri. Bung Karno boleh mengambil buku2nja sendiri dari rumah jang kemudian didjadikan bahan untuk menjusun pleidoinja "Indonesia Menggugat". Maka dengan radjinnja Bung Karno menulis dengan bahan2 buku sendiri jang bisa dikirimkan oleh Ibu Inggit atau suruhannja saudara Entjon. Selain buku2 jang mengandung politik, maka Bung Karno sering pesan buku2 tjerita atau dongeng2, antaranja buku tjerita wajang buah tulisan J Kats. Buku tjerita wajang tulisan J. Kats itu memuat banjak tjerita2 (lakon) wajang berpuluh-puluh. Bung Karno mengharuskan kepada kami agar setiap hari menghafalkan satu tjerita untuk nanti malamnja kami dongengkan kepada Bung Karno sehabis beliau menulis bahagian2 dari pleidoinja. Djadi kami setiap malam djadi dalang jang lakonnja tadi siang kami hafalkan. Dan disini kelihatan, kegembiraannja Bung Karno kepada wajang. Bung Karno paling suka dan sangat membanggakan Gatotkatja dan jang lainnja kepada Karna. Kadang2 kalau dalam satu tjerita kebetulan Gatotkatja mengalami kekalahan didalam perang tandingnja maka
Bung Karno dalam bahasa Sunda: "Ahmoal enja Tot, Gatotkatja make eleh". (Ah, mas Tot, Gatotkatja bisa kalah). Maka kami djawab dulu : "Ah, henteu, engke oge kapan hirup deui". ( Ah, nanti djuga hidup lagi ). Bung Karno lalu : "Pek atuh tulujkeun". ( Tjoba teruskan lagi).
Kalau malam sedang kebetulan hari baik, maka kedengaranlah bunji keramaian diluar rumah pendjara, dan kami membajangkannja dengan obrolan2 andaikan kami berada diluar tentu melihat bioskop. Karena kami melihat adpertensi bahwa dibioskop "Elita" diputar pilem bitjara pertama "Singing in the Rain" Bung Karno memang gemar melihat pilem kalau habis pulang kursus maka biasanja terus kebioskop.
Demikianlah antaranja kehidupan kita dirumah pendjara Bantjeuj kurang lebih satu tahun.
Bulan Agustus tahun 1930 dimulai pemeriksaan oleh Landraad (Pengadilan Negeri) jang kemudian putusannja pada bulan
December 1930 didjatuhkan. Djadi pemeriksaan berdjalan selama kurang lebih lima bulan.
Setekag tanggak 22 /decenber 1930 dudjatuhkan putusan dan apel ditolak, maka kita dipindahkan kerumah pendjara Sukamiskin (luar kota Bandung).
Begitu tiba dirumah pendjara jang baru itu, maka pakaian ditukar dengan pakaian blau 2 stel, pijama tjele 2 stel, sepatu putih dan kelom masing2 1 stel. Kami ditahan dulu dikamar rumah sakit pendjara selama 2 hari jang kemudian ditjukur gundul.
Setelah dua hari ditahan dirumah sakit, maka dipindahkan kekamar blok kruis Barat disebelah atas ditjampurkan dengan hukuman2 bangsa Eropa. Kamar4 blok kruis tersebut merupakan bahagian untuk para tahanan/hukuman orang2 terpeladjar. Setelah penetapan kamar2 bagi kami, maka esok harinja kami sendiri dipekerdjakan dibahagian schriftenmakkerij, Bung Karno diplekerdjakan dibahagian  mesin garis untuk melajaninja dan saudara Maskun mendjadi tukang menghitung buku tulis dan kami sendiri bagian tintanja. Sesudah kira2 2 bulan dipekerdjakan dibahagian2 tersebut, Bung Karno dipindahkan kebahagian administrasi.
Dirumah pendjara ini banjak sekali kebebasan seperti untuk berolah raga, main musk dsb.nja. Bung Karno mempergunakan waktunja banjak membatja, kami sendiri sepak bola dan main musik bersama-sama dengan sdr. Maskun.
September 1931 kami keluar dari pendjara Sukamiskin Bung Karno keluar tanggal 29 Desember 1931 djuga, karena dengan putusan G.G. De Graff hukumannja hanja djadi 2 tahun.

( Dikutip dari risalah  " Bung Karno dihukum 4 tahun" Olah E.M. Dachlan )

Disalin dari : Almanak Umum Nasional 1957 Penerbit : N.V. PUSTAKA & PENERBITAN "ENDANG" halaman 138 - 148





Gatot Mangkoepradja (lahir di Sumedang, Jawa Barat, 25 Desember 1898 – meninggal 4 Oktober 1968 pada umur 69 tahun). Ayahandanya adalah dr. Saleh Mangkoepradja, dokter pertama asal Sumedang.
Elon Muhammad Dachlan lahir di Singaparna, Tasikmalaya 19 Oktober 1910 dari keluarga kiyai. Ketika berumur 14 tahun tulisannya muncul di mingguan Surapati yang terbit di Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar