Carilah di sini

Senin, 11 Januari 2010

"NYUNGKUN" DAN "SURTI"

Salah seorang cucu saya yang masih duduk di kelas satu sekolah dasar, pernah beberapa kali minta uang kepada ibunya. Tak banyak yang dimintanya, hanya seribu atau lima ratus rupiah sekali meminta. Karena sering jumlahnya tentu menjadi lumayan banyak, lagi pula terasa mengganggu oleh ibunya. Akhirnya anak itu disodori lembaran lima puluh ribuan oleh ibunya. Ia tak mau menerima uang itu dan hari itu ia tak merengek lagi minta uang hingga petang.
Dalam bahasa Sunda pemberian dariibu cucu saya tadi yang terakhir itu disebut nyungkun. Pemberian yang tidak wajar supaya orang yang diberi mengetahui bahwa yang memberinya merasa jengkel dan tidak senang. Sikap cucu saya itu, yang tidak mau diberi uang yang nilainya tidak wajar, terlalu besar, dalam bahasa Sunda disebut surti.
Saya, dan mungkin sebagian besar orang Sunda, tidak menganggap pemberian yang terakhir itu sebagai tanda ibunya cucu saya itu sakit atau menyetujui perbuatan Ima. Saya mencari padanan kata sungkun dan surti itu dalam bahasa Indonesia tapi belum menemukannya. Barangkali kedua kata itu menunjukkan salah satu kearifan lokal etnik Sunda. Namun boleh jadi juga kearifan seperti itu dimiliki oleh etnik lain di tanah air kita ini.
Saya hanya ingin menunjukkan salah satu sisi sikap budaya kita yang tidak selalu berterus terang. Tidak selalu menunjukkan ketidak setujuan dengan perlawanan. Seringkali ketidak setujuan dilakukan dengan sikap yang seakan-akan setuju yang berlebihan.