Carilah di sini

Sabtu, 31 Agustus 2013

NAMA NAMA JALAN DI KOTA BANDUNG YANG SARAT PERISTIWA SEJARAH

Dahulu di kota Bandung, jalan raya yang menuju ke luar kota umumnya diberi nama sesuai dengan daerah yang ditujunya. Jalan raya yang menuju ke Lembang dinamai jalan Lembang. Yang menuju ke Dayeuhkolot, Ciparay dan Banjaran dinamakan jalan Banjaran. Jalan yang menuju ke Buahbatu disebut jalan Buahbatu. Jalan yang menuju ke Soreang diberi nama jalan Kopo, nama salah satu tempat di Soreang. Hanya dua ruas jalan raya yang menuju ke luar kota yang tidak mengambil nama tempat tujuannya, jalan raya yang menuju ke Cileunyi dan yang menuju ke arah Cimahi. Ruas jalan ini mulai dari perempatan dengan jalan Pasar Baru (sekarang jalan Oto Iskandar Dinata) ke arah barat dinamakan jalan Raya Barat (pada zaman penjajahan namnya  Grote  Postweg West,) sampai ke batas kota sebelah barat. Dan mulai dari tempat itu ke timur disebut jalan Raya Timur (zaman penjajahan :  Grote Postweg Oost) hingga ke batas kota sebelah timur. Nama ruas-ruas jalan tersebut hanya sampai ke batas kota.
Jalan Raya Barat kemudian diganti namanya menjadi Jalan Jenderal Sudirman sampai ke batas kota di bawah jembatan layang jalan tol Pasteur. Dari perempatan dengan jalan Oto Iskandar Dinata ke timur sampai ke “Parapatan Lima” dinamai jalan Asia Afrika, dari dari “Parapatan Lima” sampai ke Cicaheum di namakan jalan Jendral Ahmad Yani, dan dari Cicaheum sampai ke Cibiru dinamakan jalan  Jenderal A.H. Nasution. Penamaan “Parapatan Lima” ini tergolong unik yang diberikan secara tidak formal oleh sebagian warga Bandung. Di tempat ini bertemu lima ruas jalan : Jalan Sunda di selatan dan utara, jalan Asia Afrika di sebelah barat, jalan Ahmad Yani di timur laut dan jalan Jenderal Gatot Subroto di sebelah timur. Seharusnya bukan “parapatan lima” melainkan “simpang lima”.. Hanya kalau kita menanyakan simpang lima, boleh jadi tidak akan difahami orang.

Senin, 12 Agustus 2013

SUNGKUN DAN SURTI

Salah seorang cucu saya yang masih duduk di kelas satu sekolah dasar, pernah beberapa kali minta uang kepada ibunya. Tak banyak yang dimintanya, hanya seribu atau lima ratus rupiah sekali meminta. Karena sering jumlahnya tentu menjadi lumayan banyak, lagi pula terasa mengganggu oleh ibunya. Akhirnya anak itu disodori lembaran lima puluh ribuan oleh ibunya. Ia tak mau menerima uang itu dan hari itu ia tak merengek lagi minta uang hingga petang.
Dalam bahasa Sunda pemberian ibunya Ima yang terakhir itu disebut nyungkun. Pemberian yang tidak wajar supaya orang yang diberi mengetahui bahwa yang memberinya merasa jengkel dan tidak senang. Sikap Ima, cucu saya itu, yang tidak mau diberi uang yang nilainya tidak wajar, terlalu besar, dalam bahasa Sunda disebut surti.
Saya, dan mungkin sebagian besar orang Sunda, tidak menganggap pemberian yang terakhir itu sebagai tanda ibunya Ima sakit atau menyetujui perbuatan Ima. Saya mencari padanan kata sungkun dan surti itu dalam bahasa Indonesia tapi belum menemukannya. Barangkali kedua kata itu menunjukkan salah satu kearifan lokal etnik Sunda. Namun boleh jadi juga kearifan seperti itu dimiliki oleh etnik lain di tanah air kita ini.
Salah satu buktinya ketika Prita Mulyasari diharuskan membayar ganti rugi kepada sebuah rumah sakit, dengan ajakan seseorang warga Jakarta, spontan berbagai lapisan masyarakat mengumpulkan koin untuk membayarkan ganti rugi itu. Pengumpulan uang itu bisa jadi menunjukkan ketidak setujuan atas putusan hakim yang mengharuskan Prita membayar ganti rugi. Ketidak setujuan itu dilakukan dengan nyungkun. Sikap yang seakan-akan menyetujui dengan cara membayar ganti rugi, padahal yang dimaksud adalah sebaliknya. Adapun sikap rumah sakit yang kemudian mencabut gugatan perdata terhadap Prita menunjukkan sikap surti. Sikap surti yang boleh dikatakan terlambat. Seharusnya sejak semula surti bahwa tuntutan itu dinilai tidak wajar oleh orang banyak.
Mudah-mudahan keputusan hakim membebaskan Prita merupakan sikap surti atas rasa keadilan masyarakat yang didasarkan pada fakta hukum yang ada.
Saya hanya ingin menunjukkan salah satu sisi sikap budaya kita yang tidak selalu berterus terang. Tidak selalu menunjukkan ketidak setujuan dengan perlawanan. Seringkali ketidak setujuan dilakukan dengan sikap yang seakan-akan setuju yang berlebihan.

dari SUKAMISKIN ke ISTANA NEGARA

Rebuplik ini bukan hadiah dari penjajah. Lama sebelum kemerdekaan diproklamasikan telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita yang kemudian menjadi para pendiri negara ini. Jalan yang mereka tempuh penuh onak duri penderitaan. Salah satunya seperti tulisan berikut ini.

dari SUKAMISKIN
ke ISTANA NEGARA
Sekelumit kisah bung Karno Menudju Indonesia Merdeka

BUNG KARNO DITANGKAP

Oleh : GATOT MANGKUPRADJA

PADA tanggal 25 - 26 Desember 1929 di Bandung telah diadakan pertemuan antara pemimpin Partai2 Politik jang diwakili oleh masing2 Anggota Pengurus Besarnja jang maksudnja membulatkan tekad untuk mendirikan suatu Badan Permufakatan. Dalam pertemuan permusjawaratan itu jang dipimipin oleh Sdr. alm. Husni Thamrin hadir antara lain Bung Karno, Sartono, Dachlan Abdullah, Bakri Suraatmadja, Otto Iskandar Dinata, Sutisna Sendjaja, R.A.A. Kusumo Utojo, Dr. Samsi, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, Ir. Anwari, Dr. Sukiman, Sjahbudin Latif dll.
Karena dalam beberapa hal belum ada kebulatan, maka permusjawaratan akan dilandjutkan di Solo pada tanggal 27 Desember 1929.
Tanggal 26 Desember 1929 pagi hari l.k. djam 5 kami, Bung Karno, zus Inggit, Maskoen, Mang Ojib dengan berkendaraan satu auto taxi Chevrolet Touiring kepunjaan sdr. Suhada (Ada) menudju kekota Solo. Waktu itu dikota sangat ramainya, mungkin karena ada patjuan kuda. Kita menudju rumah Sdr. Mr. Singgih, dan didjemput oleh sdr. Sudarjo Tjokrosisworo, seorang Wartawan Nasionalis, jang membawa kita kerumah dimana kita akan bermalam, sesudah kita bersama makan di restorant Imron.