Carilah di sini

Sabtu, 03 September 2016

Pagi yang Kesiangan di Heubeul Isuk

NAMA kadang menjadi sebuah representasi keadaan sebenarnya. Meskipun kadang-kadang terdengar janggal, namun makna yang terkandung adalah yang paling penting dibandingkan sekadar artikulasi. Hal ini terjadi pada Kampung Heubel Isuk yang secara administratif berada di Desa Sukajadi Kec. Soreang Kab. Bandung.
Kampung ini terletak di antara Kampung Patrol dan Cukanghaur pada desa yang sama. Kedua kampung tadi mungkin lebih dikenal dibandingkan dengan Kampung Heubeul Isuk. Kampung Patrol dikenal karena sempat menjadi biang kemacetan akibat longsor besar hingga memakan setengah badan jalan raya Soreang-Ciwidey, beberapa bulan lalu. Sedangkan Kampung Cukanghaur dikenal masyarakat karena keindahan panorama arsitektur jembatan kereta api yang tak difungsikan lagi.
Kampung berpenduduk sekitar 60 kepala keluarga itu dinamakan Heubeul Isuk karena
semua warga terlambat mendapatkan pagi. Dengan kata lain, warga Heubeul Isuk sangat lama menanti datangnya pagi (Sunda: heubeul=lama, isuk=pagi). Sebuah bukit besar di
scbclah timur kampung itu membuat sinar matahari pagi tak pernah dirasakan warga.
"Sejak zaman kakek saya, kampung ini.sudah ada. Kita memang sudah terbiasa men­dapatkan pagi yang lebih siang. Paling cepat matahari mulai bersinar di kampung ini seki­tar pukul 10.00," kata Udin (62), tokoh ma­syarakat Kampung Heubeul Isuk, saat ditemui di kediamannya, Sabtu (24/11), Udin lahir dan besar di kampung ini hingga sekarang. Meskipun tak mendapatkan matahari pagi, masyarakat kampung itu memiliki tubuh yang sehat dan menjaga benar kebersihan lingkungan.
Kampung Heubeul Isuk berada tepat di kaki bukit yang juga disebut warga dengan nama Heubeul Isuk. Karena kemiringan yang cukup ekstrem, kini warga hampir tak mungkin membangun ke arah atas bukit. Makanya, pengembangan kampung ini di­lakukan ke seberang Jalan Raya Soreang-Ciwidey, tepatnya ke daerah persawahan. Menurut Udin, kampung ini awalnya hanya dihuni sekitar lima kepala keluarga namun terus berkembang hingga jumlahnya mencapai 60 ke­pala keluarga seperti sekarang.
Satu kebiasaan unik yang dijalani warga Heubeul Isuk yaitu mereka biasanya menjemur pakaian setelah pukul 11.00, bukan pagi hari seperti yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Lambatnya kedatangan sinar matahari yang memaksa warga Heu­beul Isuk melakukan hal itu.
Menurut sejumlah tetua di kampung ini, masyarakat sempat mencoba mengganti nama Heubeul Isuk sekitar awal tahun 1950-an menjadi Kam­pung Babakan Manglid. Upaya
penggantian nama itu pernah dilakukan dengan menulisnya besar-besar pada gapura menuju kampung itu. Namun, perubahan nama itu ternyata tak begitu saja diterima warga dan bertahan sekitar satu tahun saja. Setelah itu, nama Heubeul Tsuk kembali digunakan hingga sekarang.
Meskipun berada pada ke­miringan yang cukup tajam, kampung ini tak terkendala dengan ancaman longsor. Sebuah talun bambu yang dibiarkan tumbuh alami serta banyaknya tanaman keras membuat permukaan tanah di Heubeul Isuk cukup stabil. Tak ada dinding rumah retak sejak lama. Petani pun masih tetap leluasa berkebun di bagian atas rumah mereka selama ini. Pohon-pohon keras di bukit Heubeul Isuk juga mengalirkan air di dua mata air yang terus mengalir meski kemarau tiba.
Lalu, apakah kondisi ini membuat warga Heubeul Isuk menjadi malas-malasan dengan bangun lebih siang?
"Oh tidak. Bagaimana bisa kita bangun lebih siang kare­na kebanyakan profesi warga adalah buruh pabrik dan pe­tani. Tetap saja kita bangun pagi meskipun matahari datang lebih siang," ucap Udin. (Deni Yudiawan/"PR")***

Pikiran Rakyat
Bandung - Senin (Pahing) 26 November 2007

Senin, 22 Agustus 2016

TINGGAL KENANGAN HJ. R. IDA WIDHANINGSIH BINTI H. R. TAMA (15 Pebruari 1943 – 22 Maret 2014) PERJALANAN KARIR HINGGA PENSIUN

Mengenang, bukan meratapi.

Imam Muslim meriwayatkan dari 'Aisyah dia berkata; "Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, pernah meminta izin untuk masuk ke dalam rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sepertinya beliau mengenali suaranya yang mirip dengan suara Khadijah, hingga beliau merasa senang. Tak lama kemudian beliau berkata: ya Allah, ternyata ia adalah binti Khuwailid, adik perempuan Khadijah! ' Aisyah berkata; Tentu saja saya merasa cemburu dan berkata; 'Mengapa Anda masih mengingat-ingat perempuan Quraisy yang tua renta itu, yang kedua ujung bibirnya telah memerah dan ia sudah tidak ada lagi, Sedangkan Allah telah memberikan gantinya yang lebih dari padanya untuk engkau."


Hj. R. Ida Widaningsih diangkat menjadi guru PNS pada 1 Januari 1970. Ditempatkan di SD Negeri Manggahang II yang terletak di Cipicung desa Manggahang Kecamatan Ciparay. Ia dapat cepat diangkat ketika sudah lulus KGA karena saat itu memang masih dibutuhkan tenaga guru. Pengangkatan PNS saat itu tidak melalui seleksi seperti testing. Pengangkatan dilakukan atas usul Penilik secara tambal sulam. Ketika ada guru yang pensiun diusulkan pengangkatan pns guru baru.
Ketika mengikuti KGA ia belum menjadi PNS padahal untuk membayar uang kursus harus ada yang bersedia dipotong gajinya. Asep Rosidin salah seorang adik misan Hj. R. Ida bersedia membantu. Setiap bulan gajinya dipotong untuk membayar uang kursus yang baru diganti belakangan.
Di sekolah inilah Hj. R. Ida mulai belajar untuk mengajar di kelas yang sebenarnya. Meskipun baru pertama kali mengajar ia  dapat cepat menyesuaikan diri sehingga dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik. Setahun kemudian ia mengajukan permohonan pindah tugas ke Dayeuhkolot, Kepala SD tempatnya bekerja merasa berkeberatan.  Hanya karena di Dayeuhkolot juga ada SD yang kekurangan guru akhirnya permohanan pindah itu dikabulkan dan ditempatkan di SD Negeti Dayeuhkolot VI di Pasigaran yang saat itu dipimpin oleh pak Eme Ahmad, yang membantu kepindahan itu. Pak E. Ahmad adalah adik misan mak Uking, ibu dari Hj. R. Ida.
Hj. R. Ida Widaningsih pindah ke SD Negeri Dayeuhkolot VI mulai 1 Mei 1971.  Penyelenggaraan administrasi kelas dan administrasi sekolahnya relatif lebih baik dibandingkan dengan tempat bekerja sebelumnya. Di tempat kerja sebelumnya pun sudah terbiasa mengerjakan administrasi kelas hanya pengarsipannya belum tertata rapi.  Di sini administrasi kelas yang sejenis ditempatkan dalam satu map. Jika hendak digunakan atau ada pemeriksaan tidak sulit lagi menyiapkannya.
Pekerjaan guru itu bukan hanya mengajar di kelas, melainkan juga membuat persiapan (tertulis) sebelum mengajar dan melakukan evaluasi setelahnya. Sebelum diberlakukannya Kurikulum 1975 persiapan mengajar itu bentuknya sederhana tidak terlalu rinci. Persiapan mengajar yang sudah dibuat guru harus diketahui/ditanda tangani oleh Kepala Sekolah.
Bukan tak ada yang enggan membuat persiapan mengajar ini. Yang sudah lama mengajar ada yang berpendapat tak perlu membuatnya karena sudah hafal apa yang harus dikerjakannya di kelas.  Adakalanya pekerjaan yang seharusnya dilakukan sebelum mengajar itu justru dikerjakan setelahnya. Biasanya ketika akan ada pemeriksaan oleh Penilik/Pengawas SD. Persiapan mengajar yang telah selesai dan ditandatangani oleh guru masih harus diperiksa dan ditandatangani kepala sekolah sebelum dipergunakan. Umumnya persiapan mengajar itu dibuat untuk setiap hari sekolah.
Mulai 1 Januari 1974 pindah lagi ke SD Negeri Dayeuhkot VII, yang saat itu berlokasi di jalan Raya Dayeuhkolot. Kepindahan ini dimungkinkan karena salah seorang guru di sekolah itu pindah mengajar ke SMP Negeri Dayeuhkolot. Kepindahan guru SD ke SMP itu biasanya dimaksudkan supaya golongan pangkatnya tidak terhenti di golongan II/d. Jika pindah ke SMP bisa sampai ke golongan III/b. Saat itu guru belum dinyatakan sebagai jabatan fungsional.
Lokasi SD N Dayeuhkolot VII bersama dengan SD N Dayeuhkolot II dan IV terletak di pinggir jalan Raya Dayeuhkolot. Status tanahnya milik Desa. Lokasi ketiga SD itu sekarang dijadikan ruko yang salah satunya Toko Mas Sinar Gaya.  Beberapa tahun kemudian lokasinya pindah ke jalan Mama Yuda (Bolero), sedangkan SD N Dayeuhkolot II dan IV pindah ke bangunan baru di kampung Kaum dekat makam Bupati Bandung.
Di sekolah ini bekerja cukup lama hingga 30 Juni 1983. Di sekolah ini ia berhasil mengembangkan kemampuan mengajar berbekal pengalaman di tempat kerja sebelumnya. Di sini ia mendapat tugas mengajar kelas I dengan berhasil. Ukuran keberhasilan dengan cara sederhana saja, yaitu hampir semua murid di kelasnya sudah mampu membaca, menulis dan  berhitung pada semester pertama. Dengan jumlah murid pada setiap rombongan cukup banyak, tentu bukanlah pekerjaan mudah, karena waktu itu hampir semua murid kelas I tidak pernah belajar di TK lebih dahulu.
Pada saat Hj. R. Ida mengajar di sekolah ini pemerintah mulai menerapkan metode mengajar membaca menulis SAS (Sistem Analitik Sintetik) melengkapi metode yang digunakan sebelumnya. Untuk persiapannya guru-guru kelas I diwajibkan mengikuti penataran. Buku yang digunakan sebagai bahan penataran itu sampai saat ini masih ada. Nampaknya ia tidak menjumpai kesulitan mempelajari dan menmggunakan metode SAS ini. Sementara rekan-rekannya yang lain ada yang merasa sulit menggunakannya Hj. R. Ida justru merasa terbantu untuk meningkatkan keberhasilan murid-muridnya.
Bekerja dengan penuh kesungguhan dan menerapkan displin bagi diri sendiri menyebabkan Hj. R. Ida Widaningsih memperoleh nilai DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) cukup tinggi dibandingkan dengan rekan-rakannya yang sebagian besar lebih senior.  DP3 itu merupakan dokumen semacam rapor yang dibuat rangkap tiga, satu untuk penilai, satu untuk atasan penilai dan untuk pns yang dinilai. Penilaian ini dibuat setiap akhir tahun, jadi untuk setiap tahun satu DP3. Perolehan nilai dari tahun ke tahun senantiasa naik, menandakan kinerjanya cukup baik.  Adakalanya penilaian itu dilakukan pejabat penilai secara subyektif. Pernah salah satu unsur yang dinilai lebih rendah dari tahun sebelumnya, ketika hal itu ditanyakan penyebabnya mendapat jawaban karena tidak membantu kegiatan kepala sekolah di desa. Ukuran yang aneh karena kegiatan di desa bukan merupakan tugas pokok guru.
Waktu itu para guru diwajibkan mempunyai ringkasan catatan DP3 dari tahun ke tahun.   Mungkin untuk melihat perkembangan kinerja setiap guru.
Boleh jadi karena tidak menyalin langsung dari DP3 tiap tahun atau oleh penyebab lain, nilai dalam ringkasan itu ternyata ada yang lebih rendah dari yang tercantum dalam DP3. Ini baru diketahui ketika mengajukan permohonan pindah mengajar ke sekolah lain. Posisi Hj. R. Ida dalam DUK di sekolah ini terhitung rendah karena hampir semua gurunya  termasuk guru senior. Sementara kalau pindah ke sekolah lain posisi DUK-nya bisa naik, apa lagi jika pindah ke SD Inpres.
Pernah minta bantuan salah seorang saudara yang menjadi Kepala SD yang baru dibentuk dengan harapan dapat menaikkan posisi dalam  DUK tetapi tidak ditanggapi dengan alasan khawatir mengganggu hubungan baik dengan Kepala SD yang ditinggalkan.
Saat itu jabatan guru belum dijadikan jabatan fungsional yang memungkinkan kenaikan pangkat yang tak terbatas. Pangkat guru SD saat itu maksimum hingga golongan II/d sekalipun sudah memenuhi syarat naik ke III/a.  Supaya bisa naik pangkat hingga ke golongan III tak ada jalan lain dari pada berusaha untuk diangkat menjadi Kepala Sekolah atau pindah mengajar ke SMP. Setiap sekolah dapat mengusulkan calon Kepala SD yang salah satu syaratnya mempunyai posisi paling tinggi dalam Daftar Urut Kepangkatan (DUK) di sekolah yang bersangkutan.
Akhirnya Hj. R. Ida Widaningsih diizinkan pindah ke SD Negeri Dayeuhkolot XI mulai 1 Juli 1983. Saat itu sekolah ini dipimpin oleh Ibu Hj. Iing Hafidzoh. Ketika baru pindah ke sekolah ini jumlah muridnya tidak sebanyak di sekolah-sekolah sebelumnya. Murid kelas satu hanya belasan orang. Nampaknya masih kurang mendapat kepercayaan masyarakat. Setelah Hj. R. Ida mengajar di sekolah ini, berangsur-angsur pendaftar murid kelas I bertambah banyak sehingga akhirnya mencapai dua rombongan belajar. Dalam waktu lima tahun setiap tingkatan terdiri atas dua rombongan belajar`. Tahun 1988 sekolah ini memenuhi syarat untuk dibagi dua.  Atas dukungan Ibu Hj. Siti Rochmah, kepala sekolah saat itu yang menggantikan Ibu Iing Hafidzoh, SD Negeri Dayeuhkolot XI dimekarkan menjadi dua sekolah. SD Negeri Dayeuhkolot XI dan SD Negeri Dayeuhkolot XIII.
Setelah melalui proses yang melelahkan sekolah ini dibagi dua dengan dibentuknya SD Negeri Dayeuhkolot XIII. Hj. R. Ida Widaningsih diangkat menjadi pejabat Kepala Sekolah baru ini sejak 1 Nopember 1988 dan diangkat sebagai Kepala SD yang sama mulai 25 Maret 1989. Hj. R. Ida Widaningsih tak pernah pindah ke sekolah lain sampai pensiun pada 1 Maret 2003. Mulai dari sekolah dengan murid yang minim. Satu kelas hanya beberapa belas orang. Karena mendapat kepercayaan masyarakat dapat mengembangkan sekolahnya menyamai sekolah induk.
Banyak kepala sekolah yang berusaha minta pindah ke sekolah lain yang muridnya lebih banyak. Ada kepala sekolah yang bertugas di tempat yang sebenarnya dekat dengan rumahnya pun minta pindah ke sekolah yang lebih banyak muridnya meskipun lokasi sekolahnya lebih jauh dari tempat tinggalnya. Bukan tak ada yang setelah pindah ke sekolah yang diinginkannya kemudian mengaku ditugaskan untuk  memperbaiki sekolah yang didatanginya.
Ketika Hj. R. Ida Widaningsih pensiun masih diminta untuk tetap menjabat kepala sekolah sampai ada penggantinya, tetapi ditolaknya. Bukan karena sudah tak mau menyumbangkan tenaga melainkan hendak menghindari tudingan seakan-akan tak mau melepaskan jabatan. Dan seperti umumnya sekolah bermurid banyak, tak sedikit yang ingin menggantikannya di sekolah itu. Hj. R. Ida Widaningsih pernah berceritera bahwa ada kepala SD yang ingin pindah ke SD Negeri Dayeuhkolot XIII, katanya sampai ditahajudan. Maksudnya mungkin berdo’a ketika tahajud karena dikabulkan tidaknya keinginan seseorang bukan karena tahajud, melainkan atas perkenan Allah swt.
Setelah Hj. R. Ida pensiun, ibu Hj. Euis Rohani menggantikannya sebagai kepala SD Dayeuhkolot XIII. Pada saat yang bersamaan ibu Hj. Sarwati menjabat Kepala SD Negeri Dayeukolot XI menggantikan ibu H. Yuyu Rodiah.  Ketika ibu Hj. Sarwati meninggal dunia, ibu Hj. Euis Rohani merangkap sebagai pejabat Kepala SD Negeri Dayeuhkolot XI. Dua sekolah yang jumlah muridnya sama banyak itu dimerger saat dipimpin oleh ibu Hj. Euis Rohani. Anehnya dua sekolah lain yang ada di kompleks yang sama tidak dimerger, meskipun salah satu di  antaranya jumlah muridnya kurang dari jumlah murid SD Negeri Dayeuhkolot XIII.  

Sepuluh tahun setelah pensiun Hj. R. Ida Widaningsih Allahu Yarham wafat pada usia 71 tahun. Tepatnya pada 22 Maret 2014. Meninggalkan suami, lima anak dan empatbelas orang cucu. Semoga Allah swt merahmatinya, dan sesungguhnya kita kepunyaan Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya. Ia lebih dahulu dari kita dan kita akan mengikutinya.




Kamis, 10 Maret 2016

Kesadaran Geografi Kita
Oleh : SRI EDI SWASONO
Di tengah menekuni buku Re­source Wars (MT Klare, 2002) juga memaknai gemuruhnya Perhimpunan Nasionalis Indonesia (PNI-nya Kwik Kian Gie dan kawan-kawan), serta menyimak pemberitaan Kompas (26/3) tentang pidato pengukuhan guru besar mengenai integrasi nasional Indonesia tentu terasa mengejutkan melihat kenyataan ini.
Kuliah subtopik "interdependensi ekonomi" di kelas semester ke-8 pada sebuah universitas terkemuka di Jakarta tidak dapat saya lanjutkan. Bagaimana mungkin para mahasiswa tidak mengenal Laut Sawu Teluk Tomini, Morotai, Sorong, Timika dan lokasi geografi strategis lain guna membangun pola-pola interdependensi ekonomi yang akan dibahas di kelas.
Semula saya tidak yakin para mahasiswa semester ke-8 ini benar-benar "buta" ilmu bumi Indonesia. Ketika dengan jengkel saya tawarkan siapa yang tahu di mana Laut Sawu, Bima, Waingapu, Maumere, Ende Larantuka, dan Rote akan saya luluskan tanpa saya periksa ujiannya, be­nar-benar malapetaka terbukti, tidak seorang pun mengacungkan tangan.
Mereka memang tidak mengenal Tanah Airnya. Di kelas ini ada yang mengaku berasal dari Jawa Barat (lahir Betawi) pun tidak tahu di mana Pameungpeuk. Ada yang menyatakan Jarnbi di sebelah timur Palembang. Ada yang menggambar letak Minahasa di antara Makasar dan Parepare, Demikian pula Boyolali (asal orangtuanya) dikatakan di selatan Solo, dan mengatakan Cepu di Jawa Timur Mereka meletakkan Pontianak di antara Ketapang dan Pangkalan Bun padahal jelas Tugu Khatulistiwa di Pontianak, Mereka tidak lancar menyebut 10 nama kota besar di Jawa, sempat berhenti pada deretan kota ke-8, dan seterusnya-
Kesimpulan saya, mereka tidak merasa sempit atau sesak napas hidup di Indo­nesia hanya berwawasan cekak Jabotabek, tanpa tahu the land beyond, ibarat miopi dan berkacamata sempit cukuplah hidup ini, Ibaratnya, tidak perlu mengenal Nusantara berikut isi dan penghuninya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote. Seolah mereka tidak merasa risi tanpa tahu zero point keberadaan mereka.
Hegemoni akademis
Bagi saya apabila bangsa kita seperti yang ada di kelas itu ini merupakan sesuatu pelumpuhan sempuma (a complete disempowerment) atas suatu bangsa,
Sudah sejak beberapa waktu saya meng-amati terjadinya hegemoni akademis di kampus-kampus kita. Ada kecenderungan laten sejak lama kurikulum telah mem-bentuk manusia-manusia elite yang ambivalen, menjadikan mereka "orang Barat di Timur" atau "orang Timur yang ke-Barat-Barat-an" yang lengah akan ideologi dan kesadaran nasionalnya.
Bagi Indonesia yang berideologi Pan-casila yang multikulturalistik dan berma-nifesto Bhineka Tunggal Ika hegemoni akademis yang mengubur cita-cita (visi dan misi kemerdekaan) adalah upaya me, rongrong perjalanan sejarah bangsa,
Suatu nationhood yang dalam dimensi ututuhnya mengemban doktrin self-deterrnination, sovereignty, dan territorial inte¬grity tidak dikenal para mahasiswa kelas saya ini. Mereka adalah warga negara Indonesia tanpa kesadaran geografi, tak mengenal prinsip ksatria sedumuk bathuk senyari bumi Mereka dilumpuhkan oleh semacam "kurikulum modern" yang mendikte agar sejarah dan ilmu bumi Indonesia tak perlu benar-benar diajarkan.
Teritori tidak utuh
Pada kuliah pekan berikutnya, mereka tetap saja tidak tahu di mana Miangas dan Rote. Bahkan, ada yang mengatakan Andalusia di Swiss dan Maroko di Filipina, mereka tidak mengenal Federico Garcia Lorca (dari Andalusia), Friedrich von Schiller, Sir Rabindranath Tagore, dan lainnya, adalah bagian dari telah terjadinya pelumpuhan akademis itu, Suatu perlucutan dari konteks dan tekstur mondial paling sederhana,
Terpaksa saya membeli delapan peta (atlas). Ada yang berjudul Atlas Lengkap (untuk sekolah dasar); Atlas Dunia (untuk SD STP dan SMU); Atlas Indonesia dan Dunia; Atlas Indonesia dan Dunia (untuk IPS); dan seterusnya. Dari peta sebanyak itu hanya satu yang memuat Pulau Mi¬angas (1268BT/535LU) itu pun salah tulis, Pulau Miangsa, Tujuh peta lain hanya memuat sampai ke Kepulauan Sangihe (1255BT/35LU) dan Kepulauan Talaud (126,8BT/4,5LU). Atlas kita tidak tuntas, teritori Indonesia tidak diutuhkan. Pada umumnya hanya di peta lama (terbitan 1994 ke bawah), di peta-peta dinding lama Pulau Miangas masih tertera.
Tentu memalukan, Pulau Miangas justru tertera jelas di peta dinding yang terpancang di ruang kerja Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Untunglah inflight-magazine Garuda Indonesia memuat Pulau Miangas (atas saran saya), Kita tinggal menunggu apakah nasib Pulau Mi-angas akan sama dengan Pulau Sipadan dan Ligitan. Mindset mereka tidak mencakup utuh Tanah Air sebagai milik dan bagian kehidupan bernegara.
Bagaimana bangsa kita lengah dan mudah dilumpuhkan melalui skenario akademik macam ini? Ataukah ini sekadar absurditas atau ketumpulan budaya? Bagaimana nasionalisme bisa direvitalisasi tanpa ada kesadaran teritorial? Bagaimana nasionalisme bisa berkembang bila para pemimpin menjuali kedaulatan negara (Indosat dan lainnya)?
"Resources wars"
Perang kekayaan alam (resource wars) yang gamblang digambarkan Klare cukup mengerikan. A Lowrie (2002) menambahkan doktrin resource scarcity sedang bergeser menjadi doktrin "negara bandit" (rogue state doctrine), Kita dirampok para Herrenvolker, bangsa adidaya ekonomi, yang menggandeng pasar bebas, yang de¬ngan mudah menjarah kekayaan alam kita. Pasar bebas yang diwakili para global fi¬nancial tycoons tanpa kedok lagi berunjuk gigi sebagai super-imperialis QA Hudson, 2003), Saking lemahnya kesadaran geografi dan sovereignty atas teritori, 6.000 (dari sekitar 18.000) pulau yang disatukan lautan luas setelah 60 tahun merdeka, ada yang belum diberi nama, Nama-nama indah nelayan setempat sepatutnya diadopsi sebagai nama pulau.
Peta-peta Indonesia tak utuh yang beredar hendaknya ditarik kembali. Para penyusun tidak boleh mengkhianati dan menjerumuskan anak-anak dengan memperdagangkan atlas macam itu. Wisata Nusantara antar pulau bagi bapak/ibu guru dan murid perlu dipromosikan dengan dana masyarakat dan APBN.
SRI-EDI SWASONO
Pj Ketua Umurn Dekopin; Ketua Dewan
Pakar PKP-Indonesia

KOMPAS SENIN 17 APRIL 2006
 Halaman 6