Carilah di sini

Sabtu, 03 September 2016

Pagi yang Kesiangan di Heubeul Isuk

NAMA kadang menjadi sebuah representasi keadaan sebenarnya. Meskipun kadang-kadang terdengar janggal, namun makna yang terkandung adalah yang paling penting dibandingkan sekadar artikulasi. Hal ini terjadi pada Kampung Heubel Isuk yang secara administratif berada di Desa Sukajadi Kec. Soreang Kab. Bandung.
Kampung ini terletak di antara Kampung Patrol dan Cukanghaur pada desa yang sama. Kedua kampung tadi mungkin lebih dikenal dibandingkan dengan Kampung Heubeul Isuk. Kampung Patrol dikenal karena sempat menjadi biang kemacetan akibat longsor besar hingga memakan setengah badan jalan raya Soreang-Ciwidey, beberapa bulan lalu. Sedangkan Kampung Cukanghaur dikenal masyarakat karena keindahan panorama arsitektur jembatan kereta api yang tak difungsikan lagi.
Kampung berpenduduk sekitar 60 kepala keluarga itu dinamakan Heubeul Isuk karena
semua warga terlambat mendapatkan pagi. Dengan kata lain, warga Heubeul Isuk sangat lama menanti datangnya pagi (Sunda: heubeul=lama, isuk=pagi). Sebuah bukit besar di
scbclah timur kampung itu membuat sinar matahari pagi tak pernah dirasakan warga.
"Sejak zaman kakek saya, kampung ini.sudah ada. Kita memang sudah terbiasa men­dapatkan pagi yang lebih siang. Paling cepat matahari mulai bersinar di kampung ini seki­tar pukul 10.00," kata Udin (62), tokoh ma­syarakat Kampung Heubeul Isuk, saat ditemui di kediamannya, Sabtu (24/11), Udin lahir dan besar di kampung ini hingga sekarang. Meskipun tak mendapatkan matahari pagi, masyarakat kampung itu memiliki tubuh yang sehat dan menjaga benar kebersihan lingkungan.
Kampung Heubeul Isuk berada tepat di kaki bukit yang juga disebut warga dengan nama Heubeul Isuk. Karena kemiringan yang cukup ekstrem, kini warga hampir tak mungkin membangun ke arah atas bukit. Makanya, pengembangan kampung ini di­lakukan ke seberang Jalan Raya Soreang-Ciwidey, tepatnya ke daerah persawahan. Menurut Udin, kampung ini awalnya hanya dihuni sekitar lima kepala keluarga namun terus berkembang hingga jumlahnya mencapai 60 ke­pala keluarga seperti sekarang.
Satu kebiasaan unik yang dijalani warga Heubeul Isuk yaitu mereka biasanya menjemur pakaian setelah pukul 11.00, bukan pagi hari seperti yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Lambatnya kedatangan sinar matahari yang memaksa warga Heu­beul Isuk melakukan hal itu.
Menurut sejumlah tetua di kampung ini, masyarakat sempat mencoba mengganti nama Heubeul Isuk sekitar awal tahun 1950-an menjadi Kam­pung Babakan Manglid. Upaya
penggantian nama itu pernah dilakukan dengan menulisnya besar-besar pada gapura menuju kampung itu. Namun, perubahan nama itu ternyata tak begitu saja diterima warga dan bertahan sekitar satu tahun saja. Setelah itu, nama Heubeul Tsuk kembali digunakan hingga sekarang.
Meskipun berada pada ke­miringan yang cukup tajam, kampung ini tak terkendala dengan ancaman longsor. Sebuah talun bambu yang dibiarkan tumbuh alami serta banyaknya tanaman keras membuat permukaan tanah di Heubeul Isuk cukup stabil. Tak ada dinding rumah retak sejak lama. Petani pun masih tetap leluasa berkebun di bagian atas rumah mereka selama ini. Pohon-pohon keras di bukit Heubeul Isuk juga mengalirkan air di dua mata air yang terus mengalir meski kemarau tiba.
Lalu, apakah kondisi ini membuat warga Heubeul Isuk menjadi malas-malasan dengan bangun lebih siang?
"Oh tidak. Bagaimana bisa kita bangun lebih siang kare­na kebanyakan profesi warga adalah buruh pabrik dan pe­tani. Tetap saja kita bangun pagi meskipun matahari datang lebih siang," ucap Udin. (Deni Yudiawan/"PR")***

Pikiran Rakyat
Bandung - Senin (Pahing) 26 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar