Carilah di sini

Selasa, 26 Juni 2012

DAYEUHKOLOT KETIKA WARGA BARU PULANG MENGUNGSI



Prasasti jembatan sungai Citarum di Dayeuhkolot yang dibangun sekitar tahun 1950 yang diresikan pada 29 Oktober 1951 oleh Ir. R. Ukar Bratakusumah, Menteri Pekerjaan Umum saat itu.



Ketika warga Dayeuhkolot baru mulai kembali dari tempat mengungsi sekitar tahun 1948, penduduk masih jarang, banyak yang bertahan tinggal di tempat mengungsi masing-masing. Saat itu hampir tak ada bangunan yang masih utuh berdiri. Dayeuhkolot merupakan salah satu tempat yang paling menderita kerusakan pada peristiwa Bandung Lautan Api dibandingkan dengan tempat-tempat lain di Kota dan Kabupaten Bandung. Di sini hampir semua bangunan rata dengan tanah. Yang masih berdiri dapat dihitung dengan jari, di antaranya gedung PLN (waktu itu penduduk menyebutnya Denki, nama perusahaan listrik zaman pendudukan Jepang) dan menara air untuk mengisi air lokomotif uap di setasiun KA Dayeuhkolot. Bangungan lainnya hancur ketika gudang mesiu diledakkan oleh Mohammad Toha dan kawan-kawan pada pertengahan tahun 1946. Jembatan jalan raya yang dihancurkan dalam peristiwa Bandung Lautan Api saat itu masih belum diperbaiki. Kendaraan dan orang yang akan menyeberangi sungai Citarum harus menggunakan jembatan Kereta Api yang tak sempat dibumi hanguskan.

Kendaraan dari arah Ciparay mapun dari arah Banjaran yang akan menyebarang ke \Bandung harus berbelok masuk jalan kereta api dari perlintasan jalan raya Bandung Ciparay dengan jalan kereta api ke arah utara, melintasi jalan KA dan jembatan sejauh kurang lebih 230 meter hingga ke depan gerbang PLN sekarang. Saat itu warga menyebutnya Denki atau waterkracht. Dari sana keluar dari jalur jalan KA sebelum mencapai jalan raya menyusuri jalan dari PLN ke jalan raya Dayeuhkolot sekarang sekitar 225 meter.
Lebar jembatan kereta api hanya bisa dilalui satu kendaraan menyebabkan penyeberangan harus dilakukan bergiliran. Ketika kendaraan dari selatan berjalan melalui jembatan, kendaraan dari arah utara harus berhenti di seberang utara jembatan, dan sebaliknya. Pengaturan lalu lintas di sekitar jembatan KA ini dilakukan oleh pegawai jawatan kereta api.
Setelah melalui jembatan dan mulai keluar dari jalur jalan KA, di kiri jalan hingga ke jalan raya Dayeuhkolot sekarang belum ada bangunan. Di sebelah kanan jalan hanya aa bangunan PLN. Setasiun Dayeuhkolot juga saat itu belum dibangun kembali. Sebagai gantinya baru dibangun bangunan sementara. Berdinding bilik beratap genting. Ketika keluar dari jalan yang mungkin milik DKA dan PLN dan memasuki jalan raya belok ke arah kanan (ke arah kota Bandung) di sebelah kanan jalan terdapat pasar Dayeuhkolot, kemudian sejumlah rumah penduduk. Dekat pasar ada toko kepunyaan orang Tionghoa, yang mungkin tidak ikut mengungsi. Di sisi sebelah barat lautnya rumah pak Maja yang istrinya bi Icih. Istrinya ini konon dukun beranak, yang biasa menolong orang bersalin. Kemudian rumah abah Suarta yang bercambang lebat. Rumah mang Undang dengan istrinya ma Endoh yang berjualan nasi di pasar Dayuhkolot, Di sini arah jalan agak membelok dari barat laut ke arah utara.Selanjutnya bangunan Sekolah Rakyat Dayeuhkolot yang baru menerima murid baru pada tahun 1949.
Pada zaman penjajahan di Dayeuhkolot ada dua sekolah dasar. Pertama Sekolah Rakyat yang terletak di pinggir jalan raya (sekarang disebut Jalan Raya Dayeuhkolot) dan Vervolgschool yang terletak di kampung Kaum, lokasinya sekarang berada di dalam komplek perumahan PLN dekat lapang bulutangkis. Pada zaman pendudukan Jepang kedua sekolah itu disatukan. Nasib bangunan sekolah tersebut sama dengan bangunan-bangunan lainnya, rata dengan tanah. Bangunan darurat untuk sekolah dasar di Dayeuhkolot didirikan akhir tahun 1948 dan awal tahun 1949. Berlantai tanah, tiang bambu, dinding bilik (gedeg, anyaman bambu yang telah diiris), atap alang-alang. Meja belajar murid terbuat dari besi bekas tutup peti peluru yang diberi tiang bambu. Bangku muridpun demikian terbuat dari pelat besi bekas peti peluru yang diberi tiang bambu. Baru pada tahun-tahun berikutnya bangunan sekolah dan perabotannya berangsur-angsur diganti dengan yang labih baik.
Warga Dayeuhkolot saat itu benar-benar harus mulai dari nol kembali. Mungkin itulah sumbangan mereka dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Meskipun tak seberat penderitaan masyarakat Rawagede di Karawang dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, tetapi keikhlasan warga Daeuhkolot ini pun ada baiknya untuk tetap dikenang.

1 komentar:

  1. Di Dayeuhkolot ada tempat bersejarah, salah satunya tugu Pahlawan Toha.

    BalasHapus