Kesadaran Geografi Kita
Oleh
: SRI EDI SWASONO
Di
tengah menekuni buku Resource
Wars (MT Klare, 2002), juga
memaknai gemuruhnya Perhimpunan Nasionalis Indonesia (PNI-nya Kwik Kian Gie dan
kawan-kawan), serta menyimak pemberitaan Kompas (26/3)
tentang pidato pengukuhan guru besar mengenai integrasi nasional Indonesia
tentu terasa mengejutkan
melihat kenyataan ini.
Kuliah
subtopik "interdependensi ekonomi" di kelas semester ke-8 pada sebuah
universitas terkemuka di Jakarta tidak dapat saya lanjutkan. Bagaimana mungkin
para mahasiswa
tidak mengenal Laut Sawu, Teluk
Tomini, Morotai, Sorong, Timika, dan
lokasi geografi strategis lain guna membangun pola-pola interdependensi ekonomi
yang akan dibahas di kelas.
Semula
saya tidak yakin para mahasiswa semester ke-8 ini benar-benar "buta"
ilmu bumi Indonesia. Ketika dengan jengkel saya tawarkan siapa yang tahu di
mana Laut Sawu, Bima, Waingapu, Maumere, Ende, Larantuka,
dan Rote akan saya luluskan tanpa saya periksa ujiannya, benar-benar
malapetaka terbukti, tidak seorang pun mengacungkan
tangan.
Mereka
memang tidak mengenal Tanah Airnya. Di kelas ini, ada
yang mengaku berasal dari Jawa Barat (lahir Betawi) pun tidak tahu di mana
Pameungpeuk. Ada yang menyatakan Jarnbi di sebelah timur Palembang. Ada yang menggambar
letak Minahasa di antara Makasar dan Parepare, Demikian pula Boyolali (asal
orangtuanya) dikatakan di selatan Solo, dan mengatakan Cepu di Jawa Timur Mereka
meletakkan Pontianak di antara Ketapang dan Pangkalan Bun, padahal
jelas Tugu Khatulistiwa di Pontianak, Mereka tidak lancar menyebut 10
nama kota besar di Jawa, sempat berhenti pada deretan kota ke-8, dan
seterusnya-
Kesimpulan
saya, mereka tidak merasa sempit atau sesak napas hidup di Indonesia hanya
berwawasan cekak Jabotabek, tanpa tahu the land beyond, ibarat miopi dan
berkacamata sempit cukuplah hidup ini, Ibaratnya, tidak perlu mengenal
Nusantara berikut isi dan penghuninya yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke dan dari Miangas sampai Rote. Seolah mereka tidak merasa risi tanpa tahu
zero point keberadaan
mereka.
Hegemoni akademis
Bagi saya, apabila bangsa kita seperti yang ada di kelas itu, ini merupakan sesuatu pelumpuhan sempuma (a
complete disempowerment) atas suatu bangsa,
Sudah sejak beberapa waktu saya meng-amati
terjadinya hegemoni akademis di kampus-kampus kita. Ada kecenderungan laten
sejak lama kurikulum telah mem-bentuk manusia-manusia elite yang ambivalen,
menjadikan mereka "orang Barat di Timur" atau "orang Timur yang
ke-Barat-Barat-an",
yang lengah akan ideologi dan kesadaran nasionalnya.
Bagi Indonesia yang berideologi Pan-casila, yang multikulturalistik dan berma-nifesto Bhineka
Tunggal Ika,
hegemoni akademis yang mengubur cita-cita (visi dan misi kemerdekaan) adalah
upaya me, rongrong perjalanan sejarah bangsa,
Suatu nationhood yang dalam dimensi ututuhnya
mengemban doktrin self-deterrnination, sovereignty, dan territorial inte¬grity
tidak dikenal para mahasiswa kelas saya ini. Mereka adalah warga negara
Indonesia tanpa kesadaran geografi, tak mengenal prinsip ksatria sedumuk bathuk
senyari bumi Mereka dilumpuhkan oleh semacam "kurikulum modern" yang
mendikte agar sejarah dan ilmu bumi Indonesia tak perlu benar-benar diajarkan.
Teritori tidak utuh
Pada kuliah pekan berikutnya, mereka tetap saja
tidak tahu di mana Miangas dan Rote. Bahkan, ada yang mengatakan Andalusia di
Swiss dan Maroko di Filipina, mereka tidak mengenal Federico Garcia Lorca (dari
Andalusia), Friedrich von Schiller, Sir Rabindranath Tagore, dan lainnya,
adalah bagian dari telah terjadinya pelumpuhan akademis itu, Suatu perlucutan
dari konteks dan tekstur mondial paling sederhana,
Terpaksa saya membeli delapan peta (atlas). Ada
yang berjudul Atlas Lengkap (untuk sekolah dasar); Atlas Dunia (untuk SD, STP dan SMU); Atlas Indonesia dan Dunia; Atlas Indonesia
dan Dunia (untuk IPS); dan seterusnya. Dari peta sebanyak itu hanya satu yang
memuat Pulau Mi¬angas (126,8BT/5,35LU), itu pun salah tulis, Pulau Miangsa, Tujuh peta
lain hanya memuat sampai ke Kepulauan Sangihe (125,5BT/3,5LU) dan Kepulauan Talaud (126,8BT/4,5LU). Atlas
kita tidak tuntas, teritori Indonesia tidak diutuhkan. Pada umumnya hanya di
peta lama (terbitan 1994 ke bawah), di peta-peta dinding lama Pulau Miangas
masih tertera.
Tentu memalukan, Pulau Miangas justru tertera jelas
di peta dinding yang terpancang di ruang kerja Duta Besar Amerika Serikat di
Jakarta, Untunglah inflight-magazine Garuda Indonesia memuat Pulau Miangas
(atas saran saya), Kita tinggal menunggu apakah nasib Pulau Mi-angas akan sama
dengan Pulau Sipadan dan Ligitan. Mindset mereka tidak mencakup utuh Tanah Air
sebagai milik dan bagian kehidupan bernegara.
Bagaimana bangsa kita lengah dan mudah dilumpuhkan
melalui skenario akademik macam ini? Ataukah ini sekadar absurditas atau
ketumpulan budaya? Bagaimana nasionalisme bisa direvitalisasi tanpa ada
kesadaran teritorial? Bagaimana nasionalisme bisa berkembang bila para pemimpin
menjuali kedaulatan negara (Indosat dan lainnya)?
"Resources wars"
Perang kekayaan alam (resource wars) yang gamblang
digambarkan Klare cukup mengerikan. A Lowrie (2002) menambahkan, doktrin resource scarcity sedang bergeser menjadi
doktrin "negara bandit" (rogue state doctrine), Kita dirampok para
Herrenvolker, bangsa adidaya ekonomi, yang menggandeng pasar bebas, yang
de¬ngan mudah menjarah kekayaan alam kita. Pasar bebas yang diwakili para
global fi¬nancial tycoons tanpa kedok lagi berunjuk gigi sebagai
super-imperialis QA Hudson, 2003), Saking lemahnya kesadaran geografi dan
sovereignty atas teritori, 6.000 (dari sekitar 18.000) pulau yang disatukan
lautan luas,
setelah 60 tahun merdeka, ada yang belum diberi nama, Nama-nama indah nelayan
setempat sepatutnya diadopsi sebagai nama pulau.
Peta-peta Indonesia tak utuh yang beredar hendaknya
ditarik kembali. Para penyusun tidak boleh mengkhianati dan menjerumuskan
anak-anak dengan memperdagangkan atlas macam itu. Wisata Nusantara antar pulau
bagi bapak/ibu guru dan murid perlu dipromosikan dengan dana masyarakat dan
APBN.
SRI-EDI SWASONO
Pj Ketua Umurn Dekopin; Ketua Dewan
Pakar PKP-Indonesia
KOMPAS, SENIN, 17 APRIL 2006
Halaman 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar