NAMA kadang menjadi sebuah representasi
keadaan sebenarnya. Meskipun kadang-kadang terdengar janggal, namun makna yang
terkandung adalah yang paling penting dibandingkan sekadar artikulasi. Hal ini
terjadi pada Kampung Heubel Isuk yang secara administratif berada di Desa
Sukajadi Kec. Soreang Kab. Bandung.
Kampung
ini terletak di antara Kampung Patrol dan Cukanghaur pada desa yang sama. Kedua
kampung tadi mungkin lebih dikenal dibandingkan dengan Kampung Heubeul Isuk. Kampung
Patrol dikenal karena sempat menjadi biang kemacetan akibat longsor besar
hingga memakan setengah badan jalan raya Soreang-Ciwidey, beberapa bulan lalu.
Sedangkan Kampung Cukanghaur dikenal masyarakat karena keindahan panorama arsitektur
jembatan kereta api yang tak difungsikan lagi.
Kampung
berpenduduk sekitar 60 kepala keluarga itu dinamakan Heubeul Isuk karena
semua
warga terlambat mendapatkan pagi. Dengan kata lain, warga Heubeul Isuk sangat
lama menanti datangnya pagi (Sunda: heubeul=lama, isuk=pagi). Sebuah bukit besar di
scbclah
timur kampung itu membuat sinar matahari pagi tak pernah dirasakan warga.
"Sejak
zaman kakek saya, kampung ini.sudah ada. Kita memang sudah terbiasa mendapatkan
pagi yang lebih siang. Paling cepat matahari mulai bersinar di kampung ini sekitar
pukul 10.00," kata Udin (62), tokoh masyarakat Kampung Heubeul Isuk, saat
ditemui di kediamannya, Sabtu (24/11), Udin lahir dan besar di kampung ini
hingga sekarang. Meskipun tak mendapatkan matahari pagi, masyarakat kampung itu
memiliki tubuh yang sehat dan menjaga benar kebersihan lingkungan.
Kampung
Heubeul Isuk berada tepat di kaki bukit yang juga disebut warga dengan nama
Heubeul Isuk. Karena kemiringan yang cukup ekstrem, kini warga hampir tak
mungkin membangun ke arah atas bukit. Makanya, pengembangan kampung
ini dilakukan ke seberang Jalan Raya Soreang-Ciwidey, tepatnya ke daerah
persawahan. Menurut Udin, kampung ini awalnya hanya dihuni sekitar lima kepala
keluarga namun
terus berkembang hingga jumlahnya mencapai 60 kepala keluarga
seperti sekarang.
Satu kebiasaan unik yang dijalani warga Heubeul
Isuk yaitu mereka biasanya menjemur pakaian setelah pukul 11.00, bukan pagi
hari seperti yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Lambatnya kedatangan sinar
matahari yang memaksa warga Heubeul Isuk melakukan hal itu.
Menurut sejumlah tetua di kampung ini, masyarakat
sempat mencoba mengganti nama Heubeul Isuk sekitar awal
tahun 1950-an menjadi Kampung Babakan Manglid. Upaya
penggantian nama itu pernah dilakukan dengan
menulisnya besar-besar pada gapura menuju kampung itu. Namun, perubahan nama
itu ternyata tak begitu saja diterima warga dan bertahan sekitar satu tahun
saja. Setelah itu, nama Heubeul Tsuk kembali digunakan hingga sekarang.
Meskipun berada pada kemiringan yang cukup tajam,
kampung ini tak terkendala dengan ancaman longsor. Sebuah talun bambu yang
dibiarkan tumbuh alami serta banyaknya tanaman keras membuat permukaan
tanah di Heubeul Isuk cukup stabil. Tak ada dinding
rumah retak sejak lama. Petani pun masih tetap leluasa berkebun
di bagian atas rumah mereka selama ini. Pohon-pohon keras di bukit Heubeul Isuk
juga mengalirkan air di dua mata air yang terus mengalir meski kemarau tiba.
Lalu, apakah kondisi ini membuat warga Heubeul Isuk
menjadi malas-malasan dengan bangun lebih siang?
"Oh tidak. Bagaimana bisa kita bangun lebih
siang karena kebanyakan profesi warga adalah buruh pabrik dan petani. Tetap
saja kita bangun pagi
meskipun matahari datang lebih siang," ucap Udin. (Deni Yudiawan/"PR")***
Pikiran
Rakyat
Bandung
- Senin (Pahing) 26 November
2007